Menyaksikan Tradisi Sekaten di Yogyakarta
Syj.sch.id – Tradisi Sekaten di Yogyakarta adalah perayaan budaya dan religi yang sarat makna, menyatukan sejarah Islam dan kearifan lokal masyarakat Jawa.
Yogyakarta, kota yang di kenal sebagai pusat kebudayaan Jawa, memiliki banyak tradisi unik yang masih lestari hingga kini. Salah satu tradisi terbesar dan paling di nanti adalah Sekaten, sebuah upacara adat yang memadukan unsur budaya, sejarah, dan spiritualitas.
Setiap tahunnya, ribuan warga dan wisatawan datang ke Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta untuk menyaksikan tradisi yang telah berlangsung selama berabad-abad ini.
Sekaten bukan sekadar pesta rakyat, melainkan simbol penghormatan terhadap sejarah masuknya Islam di tanah Jawa. Tradisi ini menjadi bukti bagaimana masyarakat Yogyakarta mampu mempertahankan nilai-nilai leluhur sambil menghormati ajaran agama.
BACA JUGA : Eksplorasi Suku Baduy: Menyelami Kehidupan yang Autentik
1. Asal-Usul Tradisi Sekaten
Tradisi Sekaten berakar dari masa penyebaran Islam di Pulau Jawa pada abad ke-15.
Menurut sejarah, Sekaten berasal dari kata “Syahadatain”, yang berarti dua kalimat syahadat. Tradisi ini pertama kali di perkenalkan oleh Wali Songo, khususnya Sunan Kalijaga, sebagai media dakwah untuk mengajak masyarakat Jawa mengenal ajaran Islam melalui pendekatan budaya.
Untuk menarik minat masyarakat yang saat itu masih menganut kepercayaan lokal, para wali menggunakan gamelan Jawa sebagai alat pengiring kegiatan keagamaan. Musik gamelan yang indah mengundang orang datang ke masjid, lalu perlahan mereka di ajak mengenal makna syahadat dan ajaran Islam.
Dari sinilah Sekaten lahir dan terus di lestarikan hingga kini oleh Keraton Yogyakarta sebagai warisan spiritual dan budaya.
2. Waktu dan Tempat Pelaksanaan Sekaten
Tradisi Sekaten biasanya di selenggarakan setiap tahun pada bulan Rabiul Awal (Maulid Nabi Muhammad SAW) dalam kalender Hijriah.
Acara ini berlangsung selama tujuh hari penuh, di mulai dari upacara Miyos Gongso di Keraton Yogyakarta hingga puncaknya di Masjid Gedhe Kauman.
Selama periode Sekaten, kawasan Alun-Alun Utara di penuhi oleh masyarakat yang datang dari berbagai daerah. Mereka tidak hanya ingin menyaksikan ritual keagamaan, tetapi juga menikmati suasana meriah pasar malam yang menjadi bagian dari perayaan Sekaten.
Suara gamelan khas Keraton mengiringi suasana malam, menghadirkan nuansa magis dan penuh khidmat.
3. Rangkaian Upacara Sekaten
Tradisi Sekaten terdiri dari beberapa rangkaian acara yang sarat makna simbolik. Berikut urutan kegiatan yang biasanya di lakukan:
a. Upacara Miyos Gongso
Rangkaian dimulai dengan prosesi keluarnya dua set gamelan keraton, yaitu Kyai Gunturmadu dan Kyai Nogowilogo, dari dalam Keraton menuju halaman Masjid Gedhe Kauman.
Gamelan ini kemudian dibunyikan secara bergantian selama tujuh hari sebagai bentuk penghormatan dan doa keselamatan.
b. Pengajian dan Doa Bersama
Selama pelaksanaan Sekaten, berbagai kegiatan keagamaan seperti pembacaan Maulid Nabi, pengajian, dan doa bersama dilakukan di sekitar masjid dan alun-alun.
c. Garebeg Maulud
Acara puncak Sekaten adalah Garebeg Maulud, yaitu prosesi arak-arakan Gunungan — tumpukan hasil bumi seperti sayur, buah, dan makanan — dari Keraton menuju Masjid Gedhe.
Gunungan ini kemudian diperebutkan oleh masyarakat karena diyakini membawa berkah dan kesejahteraan.
Rangkaian acara ini memperlihatkan perpaduan antara tradisi spiritual dan nilai-nilai sosial yang kuat dalam budaya Jawa.
4. Makna dan Filosofi Tradisi Sekaten
Di balik kemeriahannya, Sekaten menyimpan filosofi mendalam tentang harmoni antara agama, budaya, dan kehidupan sosial.
Tradisi ini mengajarkan nilai kebersamaan, rasa syukur, dan penghormatan terhadap leluhur.
Beberapa makna penting dari Sekaten antara lain:
- Sebagai sarana dakwah Islam yang menyentuh hati masyarakat lewat seni dan budaya.
- Sebagai simbol rasa syukur kepada Tuhan atas rezeki dan keselamatan.
- Sebagai wujud solidaritas sosial antarwarga yang berkumpul tanpa memandang status sosial.
Melalui Sekaten, masyarakat Yogyakarta menunjukkan bahwa budaya dan agama dapat berjalan berdampingan dalam harmoni yang indah.
5. Sekaten Sebagai Daya Tarik Wisata Budaya
Selain nilai religiusnya, Sekaten juga menjadi daya tarik wisata budaya yang sangat populer di Yogyakarta.
Selama perayaan, kawasan Alun-Alun Utara dipenuhi pasar malam yang menjual beragam jajanan tradisional, mainan anak-anak, dan kerajinan tangan khas Jawa.
Lampu-lampu warna-warni, wahana permainan, serta aroma kuliner tradisional menciptakan suasana yang meriah dan hangat.
Tidak sedikit wisatawan mancanegara yang tertarik datang untuk menyaksikan langsung perpaduan budaya dan spiritualitas Jawa-Islam ini. Sekaten menjadi simbol keberagaman dan toleransi, menjadikan Yogyakarta sebagai kota yang benar-benar hidup dengan tradisi.
6. Upaya Pelestarian Tradisi Sekaten
Di tengah modernisasi, pelestarian tradisi Sekaten menjadi tantangan tersendiri.
Keraton Yogyakarta bersama pemerintah daerah terus berupaya menjaga keaslian nilai-nilai tradisi ini dengan cara:
- Menjaga tata cara dan urutan upacara sesuai pakem adat.
- Melibatkan generasi muda dalam kegiatan budaya dan pelatihan gamelan.
- Memadukan unsur edukasi dan wisata agar tradisi tetap relevan bagi masyarakat modern.
Dengan dukungan masyarakat, Sekaten diharapkan tetap menjadi warisan budaya yang hidup dan diwariskan kepada generasi berikutnya.
Kesimpulan
Tradisi Sekaten di Yogyakarta bukan sekadar acara tahunan, tetapi sebuah warisan budaya yang sarat makna spiritual dan sosial.
Melalui perpaduan antara dakwah Islam dan budaya Jawa, Sekaten mencerminkan keindahan harmoni antara agama dan tradisi.
Bagi siapa pun yang berkunjung ke Yogyakarta, menyaksikan Sekaten adalah pengalaman berharga untuk memahami filosofi kehidupan masyarakat Jawa yang penuh toleransi, kebersamaan, dan rasa syukur.
